Cerpen: Putra dan Putri

Teratak pena | 10:52 PM | Be the first to comment!

PUTRA DAN PUTRI 

                Putri melipat kotak untuk menjadikannya lebih kecil.  Kemudian dia duduk di atas kotak untuk lipatan menjadi lebih kemas.  Dia kemudiannya tersenyum riang sambil mengangkat tangan kepada tauke kedai itu.
                “Terima kasih uncle.  Kalau ada simpan untuk saya.”  Laung Putri dengan nada riang. 
                Putri berjalan di celah-celah bangunan dengan perasaan yang gembira. Sudah tentu dia akan dapat menjual kotak-kotak itu.  Sekurang-kurangnya dapatlah dia membuat perbelanjaan sekolah.  Tidaklah dia menyusahkan abangnya untuk memberi duit belanja.
                Putri mendongak melihatkan sinaran yang benar-benar memeritkan kulit mukanya.  Dia mengelap peluh dengan hujung tudungnya.  E… hitam.  Dia kemudiannya terlihatkan seorang lelaki yang sedang asyik menikmati minuman 100 plus di hujung tembok.  Dia menelan air liur. Sedapnya…. Kalaulah dapat air tu dah tentu hilang dahaga.  Putri mengeluh perlahan.  Erm…. Tak dapat air mahal tu dapat air paip dah cukup baik ni.  Putri meneruskan perjalanan.  Melihatkan lelaki itu membuang tin minuman Putri terhenti.  Dia menapak ke belakang dan segera menghampiri tong sampah yang berhampiran.  Dia segera mencapai tin minuman dan memijaknya dengan kuat.  Rezeki lagi… Putri tersenyum lagi.
                Putri meneruskan perjalanan di lorong antara bangunan untuk sampai ke tempat cuci kereta RAHMAN CAR WASH.  Wajahnya dari tadi bercahaya dengan sinaran kegembiraan yang tidak dapat digambarkan.  Putri segera melampaikan tangannya dan segera menuju ke arah abang kesayangannya itu.
                “Abang, Putri dah balik.”  Putri bersalam dengan Putra dan beg sandang terus di letakkan di atas pangkin di bawah pokok besar tempat mereka berteduh.
                “Hai abang Rasul!”  Jerit Putri dengan rasa gembira.
                “Amboi adik abang ni.  Bukan main seronok nampaknya hari ni.  Dah kenapa?”  Tanya Putra yang sedang mencuci kereta milik pelangganya.  Kereta Ferrari itu kembali bersinar setelah dicuci.  Putra juga tersenyum melihatkan adiknya yang ceria itu.
                “Tak nak kongsi dengan abang ke?” Tanya Putra yang masih lagi tangannya berjalan.
                “Lepas abang habis semua ni kita pergi tempat uncle Ramesh.  Putri ada dapat barang-barang tu.  Kalau kita jual sekali dengan yang lain mesti kita dapat lebih kan bang.” Putra mengangguk. 
                Memang itulah perancangannya.  Sudah banyak dia mengumpul kotak, kertas dan tin.  Memang sudah masanya untuk dia menjual. Putra menyambut senyuman Putri yang duduk selesa di atas pangkin.  Putra kemudiannya meninggalkan kerjanya dan mendapatkan Putri.
                “Okey, kalau nak pergi jual barang-barang tu Putri kena siapkan kerja sekolah dulu.  Kalau tak siap abang tak bagi Putri ikut.”  Putri berubah wajah.  Masam.  Hilang segala senyumannya tadi.
                “Ala…. Tak bestlah macam ni.  Putri nak ikut abang juga.” Putra tersenyum dengan perilaku Putri itu. 
                Putri,  itulah buah hati pengarang jantungnya.  Putrilah amanah dari ayah dan ibunya yang sudah lama meninggal dunia.  Putri jugalah rakan dan temannya.  Darah yang mengalir di dalam dirinya adalah darah Putri juga.  Walau apa yang terjadi, dan walau apa yang dihadapi dia akan terus melindungi satu-satunya warisnya.
                “Nanti kalau tak siap kerja sekolah cikgu mesti marah.  Putri nak kena marah dengan cikgu ke?” Putri menggeleng.
                “Tak apa.  Putri makanlah dulu.  Lepas makan nanti Putri boleh buat kerja sekolah.  Lagi pun abang banyak kereta yang nak kena basuh.”
                “Okeylah…. Abang beli apa?” Tanya Putri yang sudah bertukar moodnya. 
                “Abang ada beli nasi untuk Putri.  Tapi lauk sayur je.”  Ujar Putra perlahan.  Putri memandang kepada Putra.
                “Ala… tak apa bang.  Cikgu Putri cakap siapa yang makan sayur dia boleh jadi kuat.”  Putra tersenyum kecil.  Melihatkan Putri itu hatinya sayu.  Untuk tengah bulan begini berapa sangatlah dia boleh mengumpul upah.  Dia tidak mahu Putri terasa apa yang dia lalui.  Biarlah Putri dengan rasa gembira.  Sesekali tidak dia bercerita apa yang telah dipendamkan.  Dia tidak mahu Putri yang hanya berumur 11 tahun itu berkongsi kesusahan dan kepayahannya.
                “Abang makan sekali?” Putri membuka bungkusan makanan dan ternyata sayur kobis dan kuah masak lemak itu menyapa hidung kecilnya. 
                “Putri makanlah.  Abang dah makan.  Abang nak sambung kerja balik.  Nanti kalau tuan kereta tu datang tak siap lagi teruk abang kena nanti.”  Putra bangkit. Namun belum sempat dia melangkah, Putri sudah pun memegang lengannya.
                “Putri tau.  Abang tak makan lagi.  Putri makan separuh,  nanti abang makan separuh ye.” Putra berpaling. 
                “Abang dah makan.  Betul.  Putri makanlah.  Lepas tu siapkan kerja sekolah.”  Tegas Putra.
                “Tak apa.  Putri tinggalkan separuh untuk abang.  Lagi pun nasi ni banyak sangat.   Manalah Putri boleh habiskan.”  Putra tersenyum  dan mengangguk.  Sememangnya dia sedang kelaparan.  Semenjak pagi dia tidak menjamah sebarang makanan. 
                Putri melemparkan senyuman kepada Putra saat selesai menutup car wash hari itu.  Bermakna selepas ini bolehlah dia pergi menjual barang-barang kitar semula kepada Uncle Ramesh.  Dia segera mencapai beg sandang dan barang-barang yang dikutipnya semasa dia pulang dari sekolah. 
                “Jom balik.”  Memang itulah ayat yang ditunggunya dari tadi.  Tak sabar rasanya untuk dia mengetahui berapa hasil yang dia akan dapat nanti.
                “Abang,  best tak naik kereta Ferrari tadi?” Pertanyaan Putri itu benar-benar mengusik hatinya.  Dia ketawa.
                “Ala… dik kalau bawa kereta semua sama je.  Cuma jenama kereta tu je yang orang rasa bangga sangat.” 
                “Bila Putri tengok abang naik kereta tu macam sepadan je.  Abang belilah satu nanti.”  Meledak tawa Putra mendengarkannya.  Benar-benar besar harapan adiknya itu.
                “Putri ingat kereta tu boleh beli dengan seringgit dua ke?  Orang yang bergaji 5 ribu pun belum tentu dapat beli kereta tu.  Lainlah kalau kaya, dik.” 
                “Tak apa bang. Nanti Putri belajar rajin-rajin Putri belikan untuk abang satu bila dah besar nanti.” Kata-kata itu membuatkan Putra menyambung tawanya. 
                “Putri ni banyak sangat angan dia.  Dah, abang nak balik dulu.  Ambil kotak dengan tin kat rumah tu.  Putri tunggu sekejap.”  Putri akur.  Dia menantikan Putra di luar rumah. 
                Di dalam hati dia benar-benar merasa kasihan dengan abangnya itu.  Insan yang selalu melindungi dan menjaganya.  Dia tahu, ada masa Putra tidak pernah menyuap nasi sehari.  Segalanya adalah untuk dia.  Putra sentiasa memastikan Putri tidak lapar.  Putra juga sentiasa di sisi untuk memberi sokongan dalam pelajarannya sehinggakan diri sendiri Putra kadang-kala abaikan. 
                Sampai sahaja di lori Ramesh, Putri dengan perasaan gembira meletakkan kotak di atas timbangan. Bila melihatkan kotak yang sama tinggi dengannya membuatkan dia menyimpan harapan mendapat sedikit keuntungan.
                “Amboi Putri…. Hari ni banyak bawa barang.” Tegur Ramesh yang sudah biasa dengannya.  Putri menyambut kata-kata Ramesh dengan senyuman yang tidak lekang dari bibirnya.
                “Uncle, bagi lebih sikit boleh tak?  Nak beli gula-gula.”  Ujar Putri dengan nada riang apabila beberapa not merah dan biru mula bertukar tangan.
                “Adoi adik mana boleh makan gula-gula.  Rosak gigi.  Tak apa.  Ini uncle bagi seringgit buat beli roti tau.”  Putri menyambut dengan perasaan gembira.  Lepas buat beli roti krim.  Kongsi dengan abang best juga ni.
                “Thank you uncle.”  Putri tersenyum puas dan disambut oleh Putra yang bersalaman dengan Ramesh tanda terima kasih.
                Putra dan Putri berlalu dari tempat Ramesh dan berjalan beriringan meredah kesibukan petang di ibu kota Kuala Lumpur.  Limpahan manusia pada saat itu adalah perkara biasa apabila tibanya waktu orang pulang dari tempat kerja.  Mereka kemudianya memasuki lorong di antara bangunan dan kemudiannya mereka berehat sebentar di perhentian bas sebelum meneruskan semula untuk pulang ke rumah. 
                Perjalanan dengan berjalan kaki benar-benar meletihkan bagi Putri.  Ada masa ringan mulutnya untuk bertanyakan kepada Putra untuk menaiki bas atau tren.  Namun dia matikan sahaja pertanyaan itu kerana dia tidak mahu menyusahkan Putra.  Selagi dia berdaya untuk berjalan kaki dia akan teruskan juga.  Bukannya dia tiada kaki untuk melangkah.  Lagi pun berjalan kaki kan satu senaman.  Masih lagi terpahat akan kata-kata abangnya itu.
                Tiba-tiba Putri tersenyum.
                Putra memandang kepada Putri dengan pelik.
                “Dah kenapa dengan adik abang ni?”
                “Abang, kenapa nama kita Putri dan Putra?  Sedangkan kita tak hidup macam seorang Putera dan Puteri?”  Putra tersenyum. 
                “Itu yang Putri dok senyum dari tadi?”
                Putri mengangguk.
                “Putri, walau apa pun nama kita walau apa pun pangkat kita tetapi sama sahaja di sisi Allah.  Allah memilih kita jadi seperti ini kerana dia tahu kita kuat.  Dan setiap apa yag terjadi Allah ada alasannya yang tersendiri.”  Putri terdiam dengan kata-kata Putra itu.
                “Tapi sampai bila kita kena hidup macam ni?” Kali ini Putri pula yang memandang kepada abangnya. 
                “Sebab itu abang suruh Putri belajar rajin-rajin.  Kalau Putri berjaya nanti bolehlah Putri mengubah hidup.  Abang cuma dapat membantu Putri dengan kata semangat.  Dan abang akan cuba untuk memastikan Putri berjaya.”
                “Tapi abang?” 
                “Abang?  Abang cuma menumpang bahagia adik abang ni.  Kalau Putri berjaya abang akan tumpang gembira.  Putri gembira abang pun akan gembira juga. Abang tak ada apa nak berikan kepada Putri cukup dengan pelajaran.  Tapi…. Pelajaran kena seiring dengan akhlak dan agama.  Kalau semua tu sama-sama dalam hidup Putri, abang yakin Putri boleh buat.”
                “Tapi abang pun kena berjaya juga.” Putra tersenyum dengan kata-kata Putri itu.  Betapa tulusnya anak kecil itu.
                “Pasal abang janganlah risau.  Abang boleh jaga diri abang.  Untuk sekarang ni Putri tumpukan kepada pelajaran.  Jangan lupa solat lima waktu walau mana saja kita berada. Dan abang yakin Allah ada bersama-sama dengan kita.” Tersentuh akan kata-kat Putra itu membuatkan Putri mengalirkan air mata.
                “La… kenapa pula ni?” Terkejut Putra dengan titisan air mata Putri itu.
                “Putri nak abang pun berjaya juga.” 
                “Kan abang dah cakap tadi.  Putri berjaya abang pun rasa abang berjaya juga.  Dah, jangan nak menangis.  Rezeki kita masih jauh nak kita fikirkan.  Dah, jangan nak menangis.  Jom, kita balik.  Nanti lambat pula abang nak ke kedai abang Saad nanti.”
                “Abang tak penat ke?  Siang dengan car wash.  Malam kedai makan pula.”  Putra tersenyum.
                “Demi adik abang yang abang sayang, apa pun abang sanggup tau.” Ujar Putra sambil menyeka air mata Putri.  Putri tersenyum dengan kata-kata Putra itu.  Dia memeluk erat lengan abangnya.  Rasa kasihnya kian erat.
                “Sayang abang.”  Ucap Putri. 
                “Kalau sayang abang, belajar rajin-rajin tau.  Tunjukkan pada orang, insan macam kita ni boleh berjaya tanpa ibu dan ayah.”  Putri mengangguk.  Bangga dan rasa semangat melilit di segenap urat darahnya.
                Putri memandang kepada Putra dengan rasa kasih.  Betapa dia bangga punyai abang seperti Putra. Dia menyimpan semangat untuk lebih berjaya dan membuat Putra bangga dengannya. Dia tersenyum.  Abang, Putri sayang abang. Mereka kemudiannya berlalu membelah waktu siang yang kian singkat.
                “Betul ke Putri nak ikut abang ni?  Tak payahlah.  Lagi pun abang balik lambat.  Nanti Putri letih.”  Putri menggeleng. 
                “Putri nak ikut juga.” Ujar Putri.  Entah mengapa malam itu dia beria-ia untuk mengikut abangnya ke kedai makan.  Entah mengapa juga hatinya tidak tenteram.
                “Putri, janganlah macam ni.  Abang nak pergi kerja ni.  Putri duduk je kat rumah.”  Pujuk Putra lagi. 
                “Putri tak nak.  Putri nak ikut abang.  Putri janji Putri tak kacau abang.” Putra mengeluh.  Serba salah pula dia dengan renggekan Putri. 
                “Nanti Putri bosan.”
                “Tak. Putri bawa buku.  Putri boleh temankan abang.  Putri boleh baca buku.”  Putra memandang kepada Putri.
                “Please….”  Putri membuat muka simpatinya.
                “Dah kenapa malam ni nak ikut abang?  Selalunya tak nak.” 
                “Saja je… lagi pun tiap-tiap malam Putri tinggal sorang.  Tak ada siapa yang nak berlawan borak.  Putri tengok abang buat kerja pun dah cukup.”  Putra serba salah. 
                “Please….” 
                “Yelah… yelah tapi janji dengan abang jangan kacau abang kerja, boleh?”  Putri mengangguk pantas.
                “Putri janji.  Putri tak kacau abang.” Putri tersenyum. 
                “Malam ni turn abang basuh pinggan.  Jangan nak main sabun sangat ye.”
                “Ye, Putri tahu.  Putri baca buku je.  Abang jangan risau sangatlah.”  Putra tersenyum dengan janji adiknya itu.
                “Jom, nanti marah pulak Pak Saad kalau abang lambat.”  Ajak Putra.
                “Erm… yelah tu.  Bukan ke abang ni pekerja kesayangan dia?”
                “Yelah tu.  Mana pulak dengar sumber-sumber tak bertauliah ni?”
                “Adalah….”  Putri tidak menunggu lama. Dia kemudianya bergegas keluar dari pintu rumah sambil membawa beberapa buah buku sekolah.  Sebelum abangnya itu bertukar fikiran ada baiknya dia menunggu di luar rumah.
                “Kalau kat sana nanti jangan nakal-nakal tau.  Kalau tidak lepas ni jangan nak ikut abang lagi.  Putra memberi amaran.
                “Okey, Putri janji dengan abang Putri jadi budak baik. Putri tak akan kacau bang nanti.” Putri mengangkat tangan.  Tanda janji.
                “Okey, abang tahu yang adik abang ni boleh jaga diri.”  Ujar Putra tersenyum.
                Lalu mereka meredah kepekatan malam menuju ke kedai Pak Saad untuk Putra mencari sesuap nasi bagi meneruskan hidup hari esok.  Putri bernyanyi kecil sambil berjalan beriringan dengan abangnya.  Terasa seronok pula bila dia dapat mengikut Putra ke tempat kerja.
                Sampai sahaja di Kedai Pak Saad Putra kemudiannya mengambil tempat mencuci pinggan di belakang kedai.  Putri kemudiannya mencapai bangku dan meletakkan beg di atas meja yang disediakan.  Dia segera membuka buku dan mengulangkaji tanpa menghiraukan Putra yang bertungkus lumus mencuci pinggan dan cawan.
                Sesekali Putri memandang kepada Putra dan bertanyakan tentang perkara yang tidak difahami.  Putra dengan senang cuba membantu tanpa meninggalkan kerjanya.  Namun sedang Putra mencuci pinggan dengan sayup dia mendengarkan suara orang meminta tolong.  Suara itu kian kuat menyapa cuping telingannya. 
                Putra berpaling bila melihatkan dua orang remaja sedang berlari sambil membawa beg dan di susuli dengan seorang lelaki yang berumur separuh abad.  Putra sedar pasti ada sesuatu yang telah terjadi membuatkan lelaki itu mengejar.  Putra tidak menunggu lama.  Dia kemudiannya mengejar kedua-dua remaja tersebut.  Apabila dia sempat menarik salah seorang yang juga sedang membawa beg terus dia merampas beg dan terus dia melemparkan kepada lelaki separuh abad itu.  Dia tahu sudah tentu beg itu adalah kepunyaan lelaki itu.
                “Amboi, nak tunjuk baik pula kat sini ye.”  Ujar salah seorang remaja lelaki itu. 
                Putra tergamam seketika apabila kedua-dua remaja itu mula mengepungnya.  Dia memerhatikan kedua-dua remaja itu yang ternyata wajahnya mempamerkan wajah yang bengis.  Belum sempat Putra berbuat apa, penumbuk sulung sudah pun hinggap di mukanya dan disusuli tumbukkan yang bertalu-talu.
                “Abang!”  Putri menjerit saat melihatkan Putra dipukul dan ditumbuk.  Air matanya pantas menghiasi wajahnya. 
                Kali ini Putri tergamam saat pisau terbenam di perut abangnya. 
                “Polis! Polis!” Laung lelaki separuh abad itu.  Kedua-dua remaja itu melarikan diri.  Putri berlari mendapatkan Putra dan disusuli lelaki itu. 
                “Kita hantar dia ke hospital.  Mari ikut pakcik.”  Dengan bantuan orang yang berada di situ Putra kemudiannya dikejarkan ke hospital.  Air mata Putri terus menitis tanpa henti.  Sepanjang perjalanan dia hanya mampu berdoa agar tiada apa-apa yang terjadi kepada Putra. 
                Sampai sahaja di hospital Putra di masukkan ke unit kecemasan.  Pendarahan yang berlaku benar-benar menakutkan hati Putri.  Fikirannya mula melayang.  Terbit fikiran yang bukan-bukan tentang abangnya.  Dia tidak dapat memikirkan jika tanpa kasih dan sayang seorang abang.
                “Anak…”  Putri berpaling.
                “Jangan menangis.  Pakcik akan pastikan abang selamat.  Panggil saja Pakcik Shahrul.”  Dato’ Shahrul memperkenalkan diri.
                “Putri.”  Dato’ Shahrul masih setia dia sebelah anak kecil itu.  Dia tersenyum tawar.  Hatinya masih lagi dipagut rasa salah dan takut. 
                “Sedap nama.  Putri ye.  Putri banyakkan sabar ye.  Kita doa sama-sama abang selamat.”  Putri mengangguk.  Dia bersila dan menyeka air mata yang masih berbaki.
                “Kalau abang tak selamat?”  Pertanyaan dari Putri itu benar-benar membuatkan Dato’ Shahrul terdiam.  Dia memandang sekilas kepada Putri.
                “Putri jangan fikir yang bukan-bukan.  Pakcik yakin yang abang selamat.  Putri kena banyak doakan untuk dia.”  Pujuk Dato’ Shahrul.
                “Kalau abang tak ada kat mana Putri nak pergi?”
                “Putri ada ibu dan ayah?”
                Putri menggelengkan kepala.
                “Putri cuma ada abang je. Kalau abang tak ada Putri je yang hidup seorang.”  Kali ini air mata Putri kian laju.  Melihatkan bilik pembedahan hatinya dilanda sayu.  Serta-merta kenangan bersama-sama dengan Putra jelas memenuhi ruang mata.  Susah senang mereka sering bersama. Sakit dan pening mereka tanggung bersama.
                “Putri jangan bimbang.  Kalau apa-apa terjadi dengan abang pakcik akan jaga Putri. Lagi pun pakcik ada seorang anak perempuan.  Lebih kurang sebaya abang.”  Terang Dato’ Shahrul.  Sedaya upaya untuk dia memujuk Putri.
                Putri melemparkan senyuman tawar kepada lelaki itu.  Dia cuba melihat akan kejujuran di riak wajah Dato’ Shahrul.  Putri menanti dengan penuh sabar.  Dia tidak putus berdoa kepada abangnya itu agar selamat.  Penantian dirasakan terlalu lama membuatkan Putri terlena di atas kerusi.  Dato’ Shahrul terus merebahkan badan Putri dan menjadikan pehanya sebagai alas kepala Putri.  Dia turut merasa tida senang selagi Putra msaih di dalam bilik pembedahan.  Dia juga turut memanjatkan doa agar insan yang membantunya itu selamat.
                Setelah 2 jam bertarung nyawa, akhirnya Putra selamat menjalani pembedahan.  Dato’ Shahrul memanjat rasa syukur yang tidak terhingga.  Badan Putri dikejutkan.  Putri merasa amat gembira dengan berita yang baru sahaja didengari. 
                “Abang selamat, pakcik.”  Ujar Putri dengan sedikit nada gembira.  Dato’ Shahrul mengangguk.  Dia juga gembira saat doktor menyampaikan berita itu.
                “Dia perlukan rehat.  Dato’  boleh melawat dia esok.”  Putri sedikit hampa dengan penerangan doktor itu.  Hatinya bagaikan melonjak untuk bertemu dengan abangnya.  Namun dia sedar, Putra perlukan rehat.  Dia kemudiannya melangkah perlahan berjalan keluar dari hospital itu.  Namun hatinya bagaikan bergetar.  Dia merasa takut dengan tiba-tiba.  Selama ini dia selalu sahaja dengan abangnya.  Dan kini, dia bersendirian.  Dia cuba untuk mengimbas kembali perjalanan untuk dia kembali ke rumah. Kemudian dia sedar, tempatnya adalah di hospital bersama-sama dengan abangnya. 
                Putri terkejut saat bahunya di tepuk perlahan.  Dia mendongak.  Dato’ Shahrul melemparkan senyuman kepada Putri.  Dia sedar anak kecil itu dalam ketakutan.  Meredah hitam pekat dinihari bukan sesuai dengan usianya.
                “Mari, ikut pakcik balik rumah pakcik.”  Terkejut dengan pelawaan Dato’ Shahrul itu membuatkan Putri menggelengkan kepala.  Dia tidak mahu meninggalkan Putra.
                “Putri nak tinggal sini. Dengan abang.”  Ulas Putri.
                “Pakcik tahu Putri letih dan lapar kan?” Putri menundukkan kepalanya.  Dia memegang perutnya yang memang sedia kelaparan. 
                “Tapi Putri tak nak tinggalkan abang. Putri nak tidur sini.  Putri nak tunggu abang baik.” Dato’ Shahrul memandang Putri dengan rasa kasih.  Betapa dia kagum dengan pertalian Putra dan Putri.  Betapa kedua-dua beradik ini saling kasih dan sayang. 
                “Pakcik tahu, Putri jangan bimbang esok kita tengok abang.  Pakcik berjanji.” Putri menggelengkan kepala. Walau niat Dato’  Shahrul itu baik namun pesanan dan ingatan yang sering diberi oleh Putra sering kali bermain di fikiran.  ‘Jangan percaya dengan orang yang kita tak kenal.’
                Dato’ Shahrul tahu akan kanak-kanak itu takut.  Namun dia sedar Putri perlukan rehat yang secukupnya.  Dato’ Shahrul memandang ke sekelilingnya.  Seolah mencari.
                “Abang,”  Dato’ Shahrul berpaling.  Kelihatan Datin Salina yang bergegas kepada suaminya.
                “Abang tak ada apa-apa?” Dato’ Shahrul menggelengkan kepala.  Datin Salina yang mendapat berita dari suaminya terus menuju ke hospital.
                “Abang Putri nilah yang selamatkan abang.”  Putri segera mendapatkan Datin Salina dan bersalam dengan wanita itu. 
                Datin Salina melemparkan senyuman kepada Putri.  Betapa tulusnya anak kecil itu.  Getus hati Datin Salina. 
                “Abang nak hantar dia balik ke?”
                “Putri ni anak yatim piatu.  Abang nak hantar dia balik pun abang rasa kesian.  Itu yang abang ingat nak ajak dia balik rumah kita.”  Ujar Dato’ Shahrul. 
                “Putri ikut mama balik?” Kali ini Datin Salina pula yang memujuk.  Panggilan yang terbit di bibir Datin Salina membuatkan Putri memandang kepada anak mata Datin Salina. 
                “Nanti Putri boleh berkawan dengan kakak Balqis.” 
                “Tapi… Putri nak temankan abang.  Kesian abang sorang-sorang.”  Putri masih lagi dengan pendirianya.   Berat hatinya untuk melepaskan Putra.
                “Tak apa…. Kat sini ada doktor dengan nurse yang boleh tengokkan abang.  Kita balik dulu, berehat.  Esok pagi-pagi kita tengok abang.”  Pujuk Datin Salina.  Putri diam.  Mencongak untuk mengikut pasangan itu atau tidak.
                “Mari, Putri jangan bimbang. Mama janji kita tengok abang esok.”  Putri memandang pasangan itu silih berganti.  Kemudian dia memandang ke belakang. 
                “Janji?”  Dato’ Shahrul dan Datin Salina mengangguk. 
                Putri kagum dengan kemewahan yang dinikmati oleh pasangan itu.  Sepanjang hidupnya tidak pernah dia menjejaki rumah seperti itu.  Dia memandang sekeliling dengan penuh teruja.  Kemudia dia merasa kekok bila dia di situ.  Ibarat dia tidak layak untuk melangkah masuk ke rumah itu. 
                “Mari,  kita makan dulu.  Mama suruh Mak Bedah siapkan makan untuk Putri.”
                “Tak apalah…. Putri tak lapar.”  Entah mengapa dia merasa segan pula.  Tidak tahu pula insan yang baru dikenalinya itu benar-benar orang yang berada.
                “Mama tahu Putri lapar.  Mama suruh Mak Bedah masak sikit untuk Putri.  Sebelum tu mama bawa Putri ke bilik.  Putri boleh mandi dulu.” 
                “Alamak Sal, baju dia?”
                “Tak apalah bang.  Sal cuba selongkar kalau ada baju Balqis yang kecik-kecik.”  Balqis?  Tadi dia diberitahu akan Balqis lebih kurang sebaya dengan abangnya.  Mungkin dia baik macam kedua ibu-bapanya.  Telahan Putri. 
                Sepanjang malam Putri tidak kering dengan air mata.  Sepanjang malam itu juga Putri memanjatkan doa agar Putra di panjangkan usia.  Walau pun dia merasa selesa di dalam bilik yang serba mewah itu namun tidak memberikan ruang tidur buat dirinya.  Dia merasa tidak sabar untuk menantikan hari esok untuk melawat Putra. 
                Keesokkan harinya Putri turun dengan rasa letih yang amat sangat.  Namun dia perlu untuk kuatkan juga supaya dia boleh ke hospital selepas ini.  Cukuplah untuk dia menumpang barang semalam di rumah mewah itu.  Saat dia melangkah pada anak tangga terakhir dia disapa oleh Datin Salina.
                “Jom sarapan sama.”  Ajak Datin Salina sambil memberi ruang.  Pelawaan itu disambut dengan senyuman dari Putri.  Dia berpaling ke kiri saat dia terlihatkan susuk tubuh yang sedang memakai pakaian sekolah menengah.
                “Ini mama kenalkan anak mama Balqis.”  Putri menghulurkan tangan untuk bersalam namun tiada reaksi. 
                “Qis tak nak kotorkan tangan ni.”  Ujar Balqis tanpa memandang kepada Putri.  Bagaikan ada dinding antara mereka. 
                “Qis, tak baik cakap macam tu.   Putri ni anak yatim piatu.  Cuba Qis fikir kalau Qis ditempat dia.”
                “Qis tak akan jadi miskin seperti dia sampaikan nak menumpang di rumah orang dan….” Belum sempat Balqis meneruskan kata-kata terbuntang mata kerana melihatkan bajunya membaluti tubuh Putri. Membara hati Balqis bila melihatkan Putri memakai bajunya.
                “Mama!  Apa ni? Mama bagi dia pakai baju Qis?”  Datin Salina mengeluh melihatkan tingkahlaku Balqis. 
                “Lepas ni Qis nak mama buang baju tu.  Qis tak nak baju tu dalam rumah ni.”
                “Qis…”
                “Dah… Qis nak pergi dulu.  Semak je mata Qis pagi-pagi ni.”  Balqis bangkit dari tempat duduk.  Dia melangkah dan melanggar kasar Putri menyebabkan Putri berpusing.  Sedih hatinya bila dia disindir sebegitu.  Hina sangatkah dia sebagai anak yatim piatu? 
                “Putri, jangan ambil hati dengan kakak Balqis tu.  Mama minta maaf.”
                “Tak apa.  Putri sedar siapa Putri.  Lepas ni Putri nak pergi hospital.  Nak tengok abang.  Putri nak ucap terima kasih sebab beri tumpang pada Putri.  Malam ni Putri tidur dengan abang je lah.”  Dato’ Shahrul mati dengan kata-kata.
                “La… janganlah macam ni Putri.  Mama belum nak kenal dengan Putri lagi.  Putri tinggal sini sampai abang keluar dari hospital, nak?”  Putri menggeleng.  Tinggal dengan Balqis yang membenci dirinya?  Memang sah cari penyakit.
                “Putri, dengar sini pakcik cakap.”  Putri berpaling. 
                “Bahaya Putri tinggal seorang di rumah tu.  Betul cakap mama tu.  Tinggal dengan kami buat sementara waktu.  Nanti bila abang dah sihat, pakcik janji pakcik akan hantar Putri dengan abang balik.” Putri terdiam.  Mungkin ada benarnya akan kata-kata itu.
                “Putri tak nak menyusahkan pakcik dengan mama.”  Datin Salina tersenyum mendengarkan akan kata-kata Putri itu.  Sejuk saat anak kecil itu memanggilnya dengan panggilan mama.  Dari semalam dia teringin untuk berjumpa dengan insan yang telah menyelamatkan suaminya dari dirompak. 
                “Kita pergi jumpa dengan abang lepas ni ye.  Siapa nama abang Putri?”
                “Putra.”
                “Sedap nama tu. Putra dan Putri.  Mesti ibu dan ayah Putri berbangga punya anak macam Putri dan Putra.”  Ujar Datin Salina jujur.  Entah mengapa rasa kasih mula melimpah saat dia melihatkan Putri sejak malam tadi.  Redup sahaja sepasang anak mata milik Putri itu.
                “Putri sarapan dulu.  Lepas tu mandi dan kemudian kita ke hospital melawat abang.”  Putri senyum dan cuba menahan sebak di dada.  Mana mungkin dia akan melupakan budi insan yang sudi memberi perlindungan kepada dirinya saat dia keseorangan. 
                “Dah, jangan sedih.  Kita doakan yang baik sahaja kepada abang.  Cepat sarapan.  Nanti lambat pulak kita ke hospital.” Pujuk Datin Salina.  Putri mengangguk.  Dia segera menarik kerusi dan bersedia untuk menikmati sarapan pagi itu.
                Putri melangkah perlahan saat tiba di pintu wad Putra.  Tangannya gemetar.  Sebaik sahaja dia masuk ke dalam wad dia melihatkan Putra yang sedang tidur.  Menurut jururawat abangnya itu sudah pun sedar subuh tadi.  Putri melabuhkan punggung di sisi Putra.  Air matanya tumpah lagi.  Dato’ Shahrul dan Datin Salina hanya menjadi pemerhati.  Mereka rasa kagum dengan pertalian yang terjalin di antara kedua-dua beradik itu. 
                Putra tersedar saat dia merasakan kehangatan genggaman dari Putri.  Dengan perlahan dia membuka mata.
                “Putri,”  Putri tersentak. Dia melemparkan senyuman kepada Putra.  Semanis yang boleh. 
                “Abang…”  Air mata yang mengalir disapu perlahan.   Putra menyambut senyuman Putri dengan senyuman bermakna buat Putri.  Di dalam hatinya begitu risau jika terjadi apa-apa terhadap dirinya.  Putrilah menjadikan semangatnya kuat untuk sedar lebih awal lagi.
                “Al-hamdulillah…”  Dato’ Shahrul memanjat kesyukuran apabila melihatkan Putra sudah mulai sedar. 
                “Abang… jangan tinggalkan Putri.”  Putra menggeleng perlahan.
                “Takkan abang nak tinggalkan adik abang.” Putri tersenyum. 
                “Banyakkan berehat, Putra.”  Putra berpaling saat dia mendengarkan suara yang begitu asing buat dirinya. 
                “Saya nak ucapkan terima kasih kerana telah selamatkan saya.”  Dato’ Shahrul mendekati katil Putra. 
                Putra cuba mengingati.  Pada malam kejadian dengan suasana gelap dia tidak perasan akan wajah insan yang telah meminta pertolongan darinya. Putra tersenyum saat Dato’ Shahrul memegang bahu kanannya.
                “Putri tinggal dengan pakcik malam tadi.  Abang tak marah kan?”  Putra menggeleng.  Semejak dia tersedar lagi dia teringatkan Putri.  Hatinya sentiasa berlegar dengan soalan yang sama.  Selamatkah Putri.  Di manakah dia?
                “Terima kasih, encik.”
                “Dah, jangan banyak sangat bergerak.  Putra masih lagi belum sembuh sepenuhnya.  Nanti Putra jangan risau.  Papa akan uruskan segalanya.”  Putra tergamam.  Papa?  Apa maksud dari kata-katanya?
                “Papa?”
                “Sudah, Putra rehat.  Nanti papa akan cerita segalanya.”  Putra senyap.  Dia sendiri sebenarnya tiada daya untuk berkata-kata.  Putri juga terkejut dengan kata-kata Dato’ Shahrul itu.
                “Hai, abang.  Nak juga?”  celah Datin Salina tiba-tiba.
                “Yelah…. Sal ada Putri, kan?”  Datin Salina tersenyum dengan ucapan yang keluar dari bibir Dato’ Shahrul.
                “Putri… Putra….. panggil kami papa dan mama ye.”  Putra dan Putri saling berpandangan.  Dato’ Shahrul dan Datin Salina tersenyum.  Hati mereka terpaut untuk menjadikan Putra dan Putri sebagai anak angkat.
                Putra merasa kekok saat dia melangkah masuk ke dalam rumah mewah milik Dato’ Shahrul.  Dia melabuhkan punggung di atas sofa dengan perlahan.  Tusukan pisau yang dialaminya masih belum sempuh sepenuhnya membuatkan dia sukar untuk bergerak lebih.
                “Papa tinggal bertiga.  Papa, mama dengan Balqis.  Anak kami.  Sekarang ni dia masih di sekolah lagi.  Petang baru balik.”  Putra mengangguk.
                “Papa, Putra rasa kami tak layak tinggal di rumah ni.  Izinkan kami pulang ke rumah kami, papa.”  Putra menggenggam tangan Putri.  Putra tahu akan niat pasangan itu baik.  Namun dia perlu sedar siapa dirinya.  Bukan insan terpilih untuk tinggal di rumah itu.
                “Putra, papa tahu perasaan Putra.  Papa berharap sangat yang Putra dengan Putri tinggal bersama-sama dengan kami.  Lagi pun Putra masih belum sihat lagi.”
                “Tapi…”
                “Papa tahu yang Putra bekerja di car wash siang hari dan di kedai makan waktu malam.  Untuk masa sekarang ni takkan Putra nak bekerja.”
                Putra tunduk.  Dia kemudianya memandang kepada Putri.  Adiknya itu sudah beberapa hari tidak bersekolah.  Ada benarnya akan kata-kata Dato’ Shahrul itu. 
                “Baiklah, demi adik saya. Tapi…”
                “Biarkan kami tinggal di rumah belakang tu papa.”  Ujar Putra perlahan.  Sebelum masuk ke dalam rumah itu dia sudah menyedari akan rumah kecil di belakang villa itu. 
                “Tapi…. Rumah tu rumah stor.” 
                “Kalau nak tolong kami, biarkan kami tinggal sana.  Kami lebih senang tinggal sana.”  Dato’ Shahrul memandang kepada Putra.  Dia berbelah bagi.  Kalau tidak diturutkan Putra akan kembali ke rumahnya.  Akhirnya Dato’ Shahrul bersetuju.
                “Dan satu lagi, papa nak Putra sambung belajar.”  Putra tersentak.  Sudahlah diberi perlindungan.  Dan sekarang?
                “Maksud papa?”
                “Papa tahu yang Putra mendapat keputusan cemerlang.  Izinkan papa tebus segala budi Putra.”
                “Saya tidak minta balasan, papa.  Sudah ada tempat saya berlindung adik beradik sudah cukup baik.”
                “Papa berharap sangat, Putra.  Jangan hampakan harapan papa.”  Putra terdiam.  Hatinya berat untuk menyambut akan permintaan Dato’ Shahrul.
                “Tapi dengan satu syarat.”  Bersinar mata Dato’ Shahrul dengan kata-kata Putra itu.
                “Saya kerja dengan papa.”  Dato’ Shahrul mengangguk.
                “Baiklah. Papa setuju.  Nanti Putra kalau Putra sudah sihat, papa akan minta Putra ambil lessen kereta.  Putra boleh jadi pemandu kepada papa.  Dalam masa yang sama papa harap Putra akan sambung belajar.”  
                Putra mengangguk perlahan dan terseyum. 
                Sepanjang Putra dan Putri tinggal bersama-sama dengan Dato’ Shahrul,Balqis bagaikan kasih sayangnya mula berbelah bagi.  Sakit hatinya dengan Putra dan Putri. 
                “Hey, korang berdua ni asal dari lorong mana ye?  Sampai terhegeh-hegeh dengan menumpang orang.  Mak dengan ayah korang tak ajar ye.”  Tersentak Putri dengan kata-kata Balqis di suatu petang itu.  Sudahlah datang tak bagi salam, ini sergah dah macam orang hilang akal je.
                “Kakak tak baik tau cakap macam tu dengan kami.  Papa yang suruh tinggal sini.  Lagi pun abang kerja dengan papa.” Putri sedikit terasa dengan kata-kata Balqis itu.
                “Apa kakak-kakak?  Bila masa pulak aku ada adik? Ke korang nak menumpang sini sebab nak senang, kan?” Selamba sahaja Balqis menghamburkan kata-kata itu.  Kali ini Putra pula yang terasa hati.  Kedatangannya bukan untuk memisahkan kasih sayang Balqis dan keluarga.  Kerana itulah dia sanggup tidak tinggal bersama. Dan kerana itulah dia berdegil untuk bekerja dengan Dato’ Shahrul.  Kalau dia tidak bekerja sudah tentu Balqis akan fikirkan tentang dirinya yang bukan-bukan.
                “Kami tahu kami menumpang.  Kami sedar akan diri kami.  Tapi kami tidak pernah untuk menumpang senang apalagi nak menumpang kasih.  Balqis janganlah risau.  Kami tak akan rampas kasih sayang papa dan mama.”  Putra meluahkan apa yang terbuku di hati.
                Selama ini Balqis memang dingin dengan mereka.  Bila bertemu tidak pernah untuk melemparkan senyuman.  Kalau makan Balqis sanggup untuk bangun dari makan bersama.  Kalau Putra dan Putri berada di ruang tamu Balqis akan bangun dan naik ke bilik.  Ada masa Putra dan Putri terasa hati.  Namun untuk mencari sesuap nasi Putra telan semuanya.  Demi untuk membiayai tanggung jawab untuk Putri dia ada masa dia pekakkan sahaja telinga dengan sindiran dari Balqis. Putra tahu sampai masanya dia akan keluar dari keluarga itu.
                PUTRA sibuk mencuci kereta setelah dia membersihkan di dalamnya.  Dia ditemani oleh adiknya yang juga sedang membersihkan belakang kereta.  Perilaku mereka diperhatikan oleh Balqis.  Hatinya meluap-luap dengan perasaan benci.  Semenjak kehadiran Putra dan Putri segalanya perlu dikongsi.  Dia benci untuk berkongsi.  Terutama berkongsi kasih!
                “Ini cuci kereta ke nak bermain sabun?”  Tegur Balqis kepada Putri.  Terkejut Putri bila dia disergah begitu. 
                “Mana ada Putri main sabun.  Putri tolong abang je.”
                “Ha, Menjawab. Hey, Putra.  Aku nak keluar.  Kau sediakan kereta.”  Putra yang sedang mencuci meletakkan kain ke dalam baldi. 
                “Yelah.  Balqis nak kemana?”
                “Nak kemana bukan urusan kau.  Aku kata sediakan kereta, buat jelah.”  Putra mengangguk.
                “E… macam singa betina.”  Bisik Putri perlahan kepada Putra.
                “Apa kau kata?”
                “Er… tak ada apa.” Balqis berlalu.  Meninggalkan Putra dan Putri.
                “Adik ni…. jangan cakap macam tu.  Tak baik tau. Kalau dia dengar kecil hati dia.” Tegur Putra.
                “Yelah…. Dari dulu dia memang tak suka dengan kita.”
                “Kita kan menumpang di sini.  Mesti dia rasa tak selesa.  Cepat siapkan.  Nanti marah lagi dia tu.” 
                “Siapalah malang dapat dia tu.” Putra menjengkilkan matanya.
                “Dah, jangan nak membebel lagi.  Tolong abang.  Abang pun belum sembahyang asar lagi.” Putri mengangguk.  Dia kemudiannya menyambung kerja dengan seberapa pantas.
                Putra membelok kereta di perkarangan masjid.  Jam sudah menunjukkan ke angka 740 malam.  Dia mesti menunaikan tanggung jawabnya.  Dia cuba melihat Balqis melalui cermin belakang. Puas juga dia menemani Balqis.  Nak ke situ nak ke sana.  Akhirnya tiada apa yang belinya.  Putra tahu Balqis hanya cuba untuk mempermainkannya.
                “Saya nak sembahyang maghrib sekejap.  Balqis nak keluar ke?” Tanya Putra.
                “Bawa saya balik.  Saya bukannya nak ke sini.”
                “Sekejap je.  Saya takut tak sempat sampai rumah.  Lagi pun jalan tengah jammed.”  Balqis memeluk tubuh.  Wajahnya berubah kelat.
                “Engkau saja nak beri sakit hati aku, kan?”
                “Tak pernah terlintas difikiran saya nak sakitkan Balqis.  Ini tanggungjawab saya sebagai seorang islam.  Walau apa pun saya tetap dengan tanggungjawab saya.”  Mendidih hati Balqis mendengarkan kata-kata Putra itu.
                “Marilah.”  Ajak Putra lagi.
                “Saya kata saya tak nak.  Bawa saya baliklah.” Putra tersenyum sinis. 
                “Tak apalah kalau Balqis tak nak.  Ini ada kunci kereta.  Kalau nak balik boleh balik sendiri.  Saya keluar dulu.  Kunci kereta.”
                “Tak nak.” 
                “Kalau tak nak tak apa.  Saya pergi sembahyang dulu.  Minta hulurkan kain pelikat saya.” Pinta Putra.
                “Ambillah sendiri.” Balqis tidak mahu mengalah. 
                “Okey,”  Putra keluar dan membuka pintu belakang untuk mengambil kain pelikat yang memang tersedia ditempat duduk belakang.  Putra melemparkan senyuman kepada  Balqis.  Saja untuk memberikan sakit hati kepada gadis itu.
                “Saya cakap betul ni.  Kunci kereta tu. Bahaya.”  Pesan Putra sekali lagi.  Risau juga hatinya jika terjadia apa-apa kepada Balqis. Tawwakal sajalah. 
                Saat sampai di rumah Balqis menghempaskan badan di atas sofa.  Geram hatinya apabila melihatkan wajah tenang milik Putra  saat keluar dari masjid.  Dato’ Shahrul dan Datin Salina yang berada di ruang tamu terkejut dengan perilaku anak gadisnya.  Sudah penat dia menasihati Balqis.  Namun bagaikan masuk telinga kanan dan keluar telinga  kiri.  Salah mereka juga kerana terlalu manjakan anak tunggalnya itu sehinggakan Balqis tidak pernah mendengar nasihat mereka.
                “Dah kenapa pulak ni?  balik-balik je muka dah monyok macam tu.  Bukan ke kata nak pergi shopping.  Dah dapat pergi macam ni pula.”  Tegur Dato’ Shahrul.
                “Tu… driver papa tu.”
                “Putra,” Dato’ Shahrul membetulkan.
                “Apa-apalah. Ada ke patut Qis suruh balik dia tak nak?”
                “Kenapa?  Dia pun nak shopping juga ke?”  Balqis menggeleng. 
                “Dah tu?”
                “Ada ke patut Qis suruh balik dia boleh singgah kat masjid pulak. Benggang betul.”  Terluah juga apa yang terbuku di hatinya semenjak dari tadi.  
                “Okey le tu. Bagus tu.  Nak marah buat apa.  Bukannya dia bawak Qis pergi penjara.”  Saja Dato’ Shahrul mengapi-apikan Balqis.
                “Papa ni saja tau nak tambahkan sakit hati Qis ni.”
                “Eloklah macam tu.  Yang Balqis ni bila nak berubah.  Mama ingat lepas kolej nak juga kerja.  Ini tidak.  Asyik nak shopping je.  Cuba tengok Putra dengan Putri tu.”
                “Mama pun sama dengan papa.  Mama dengan papa lebih sayangkan anak pungut tu berbandingkan anak sendiri.”   Berubah wajah Dato’ Shahrul mendengarkan kata-kata yang dilontarkan oleh Balqis. 
                “Qis!  Papa tak pernah ajar anak papa cakap yang bukan-bukan.”
                “Ye, memang betul.  Papa dengan mama lebih sayangkan mereka dari Qis!”  Balqis berlari meninggalkan orang tuanya.  Hatinya sakit dan sedih. 
                Balqis merenung ke luar jendela.  Kelihatan Putra dan Putri sedang duduk berbual.  Hatinya kian sakit dengan hubungan dua beradik itu.  Putri yang terpandangkan Balqis dari atas melambaikan tangan. 
                “Jomlah kakak.”  Jerit Putri.  Balqis menggeleng. Dia terus masuk ke dalam dan menutup jendela. 
                Puas dia melarikan diri dengan dua beradik itu.  Namun kian dia melarikan diri hatinya merasa tidak keruan.  Dan saat dia kian membenci kian rapat pula kedua-dua beradik itu.  Balqis merebahkan badannya dan telefon bimbit dicapai.  Nombor telefon Aris didail.  Erm… telefon Aris lagi baik.  Hilang sakit hati ni.
                “Kak Balqis tu makin cantik, kan bang.” Ujar Putri tiba-tiba.
                “Maksud adik?”
                “Tak lama lagi dapat menantulah papa dengan mama.” 
                “Ke situ pulak.”  Putri ketawa.
                “Dia kan dah ada buah hati.”
                “Ye ke?  Elok lah tu.”
                “Anak orang kaya juga.” 
                “Erm…. Sepadanlah tu. Orang kaya dengan orang kaya, kan abang.”  Putra tersenyum dengan kata-kata Putri itu.
                “Dah, jangan nak banyak cakap sangat.  Nanti dengar dek kakak Balqis tu dia ingat yang bukan-bukan pulak.  Pergi tidur.  Esok ada kelas kan?”
                “Ala… abang nak dok sini jap.” 
                “Masuk tidur!” 
                “Okey….okey….” Putra meninggikan suara dengan nada manja.
                BALQIS bangkit setelah membasuh tangan.  Hidangan malam itu sedikit pun tidak memberi nafsu untuk dia menjamu selera.  Seleranya mati bila Putra dan Putri turut serta menikmati hidangan malam itu. 
                “Papa, Qis nak keluar sekejap.”
                “Yelah.  Putra lepas ni sediakan kereta.”  Putra mengangguk. 
                “Tak payahlah papa.  Aris jemput Qis sekejap lagi.” 
                “Nak pergi mana malam-malam macam ni Qis.  Nak keluar dengan Aris pulak tu.  Qis, tak payahlah Aris jemput.  Biar Putra yang hantar Qis.”  Dato’ Shahrul merasa berat hati untuk melepaskan anak gadisnya itu.  Bukan sekali dua dia mendengar cerita buruk tentang Aris.  Namun bila Balqis menyintai lelaki itu  dia tidak boleh berbuat apa. 
                “Qis dah telefon Aris.  Sekejap lagi dia sampai.  Papa dengan mama tak perlu tunggu Qis.  Nanti pandai-pandailah Qis balik.”
                “Qis, dengarlah cakap papa tu.  Mama rasa baik Putra temankan Qis.” Datin Salina pula bersuara.
                “Kan Qis dah cakap tak payah.  Qis dah besarlah mama.”
                “Sebab Qis dah besarlah mama risau.  Qis tu anak dara. Anak dara tak elok keluar malam.”  Ujar Datin Salina. 
                “Suka hati mamalah.  Qis naik dulu.  Nak bersiap.”  Balqis berlalu tanpa memandang kepada Putra dan Putri. 
                Putra memandang sekilas kepada Balqis.  Kemudiannya dia memandang kepada kedua orang tua angkatnya.  Entah mengapa hatinya juga merasa tidak senang.  Saat dia memandangkan Balqis, gadis itu sudah pun menukar baju.  Seketika itu dia mendengar bunyi hon kereta.  Putra tidak mahu tunggu lama.  Dia turut membasuh tangan. 
                “Putra, nak kemana tu?”
                “Papa jangan risau.  Putra minta diri dulu.”  Putra berlalu dan segera mencapai kunci kereta.  Dia terus menghidupkan enjin kereta dan meninggalkan villa itu.  Kereta dihadapan menjadi tumpuan.  Dia tidak mengekori terlalu dekat kerana tidak mahu disedari pasangan itu terutama sekali dengan Balqis. 
                Putra kemudiannya berhenti kira-kira seratus meter dari sebuah rumah mewah tempat kereta yang diekorinta berhenti.
                Balqis memandang kepada Aris.  Dia cuba mendapatkan penjelasan dengan teman lelakinya itu.
                “Kata nak pergi makan.  Ni yang bawa Qis kat sini kenapa?” Aris memandang Balqis dengan pandangan nakal.
                “Jom, masuk rumah I.  Ala… kita makan kat rumah lagi best.  Kalau nak Qis masakkan untuk Aris.  Jomlah lepak.”  Tangan Aris mula berjalan merayap melingkari bahu Balqis.
                “You buat apa ni Aris?”  Balqis cuba menepis tangan Aris.  Namun Aris lebih kuat untuk mengambil kesempatan terhadap Balqis.  Balqis cuba untuk meloloskan dirinya. 
                “Please Aris jangan buat macam ni dengan aku.”
                “Aku dah lama teringinkan kau.  Marilah…. Masuk rumah I.  Kita berdua je.  Tiada siapa lagi.  Janganlah segan.”  Balqis sedaya upaya untuk menolak badan Aris namun Aris kian bertindak ganas.
                “Tolong aku Aris…” Rayu Balqis.  Air matanya tumpah.  Nasihat ayahnya mula bermain difikirannya. 
                “Marilah sayang…”
                “Tolong!!!!!”  Jerit Balqis.  Dengan penuh kudrat dia cuba untuk melepaskan diri.
                “Tolong!!!” Prang!!!! Cermin tingkap pecah. 
                “Bangsat kau!”  Tangan Putra terlebih dahulu menghinggapkan penumbuk sulung kepada Aris.  Aris membuka pintu kereta.  Dia cuba untuk berlawan dengan Putra.  Maka berlakulah pergelutan di antara Putra dan Aris. 
                Balqis segera keluar dari pintu kereta dan menjauhkan diri dari pergelutan itu.  Dia memanjat rasa kesyukuran kerana dia telah diselamatkan oleh Putra. Kalau Putra lambat menyelamatkannya sudah tentu dia akan menjadi kerakusan nafsu Aris.  Dia berdoa agar tiada apa-apa yang akan berlaku kepada Putra.
                “Lain kali kalau aku tahu kau buat yang tidak senonoh, tahulah nasib kau lepas ni.”  Putra memberi amaran sebelum dia meninggalkan Aris yang sudah pun terbaring. 
                “Kita putus Balqis.”  Ujar Aris yang mengesat darah yang menghiasi hujung bibirnya. 
                “Lebih baik!   Dan aku pun tak ingin ada kekasih seperti kau.”  Balqis berdiri di belakang Putra.  Dia masih takut jika Aris akan mengapa-apakan dia.
                “Balqis tak ada apa-apa?”  Tanya Putra.  Balqis menggeleng.
                “Kita balik.”  Pinta Balqis.
                “Mari, papa dengan mama risau kat rumah tu.”  Ajak Putra.
                Sepanjang perjalanan Putra tidak bersuara.  Memandang kepada Balqis pun tidak.  Dia hanya melayani pemanduan dengan tenang.  Balqis memandang sekilas kepada Putra.  Ringan rasanya untuk dia meminta maaf mengucapkan terima kasih kepada lelaki itu, namun entah mengapa dia tidak betah.  Akhirnya dia menjadi pemerhati kepada insan yang bernama Putra itu.
                Sampai sahaja di rumah Dato’ Shahrul terus menerpa kepada Putra yang sudah pun bengkak di mata kerana ditumbuk oleh Aris tadi.  Baru kini Putra terasa sengalnya. 
                “Macam mana boleh jadi macam ni?” Tanya Dato’ Shahrul yang mula rasa tidak sedap hati.
                “Putra selamatkan Qis, papa.” Balqis tunduk.  Dia tidak berdaya untuk memandang kepada papanya.  Datin Salina terus merangkul anak gadisnya.
                “Kau tak ada apa, Qis?” Balqis menggeleng. 
                “Apa yang dah jadi sebenarnya ni?”
                “Balqis nyaris jadi pelepas nafsu Aris, papa.”  Ringkas dan padat sahaja kata yang dilontarkan oleh Putra. 
                “Apa?  Kurang ajar!  Dah papa katakan, kamu tak nak dengar.  Nasib baik ada Putra ni.  kalau tidak tak tahulah nasib kamu.”
                “Maafkan Qis papa.  Qis tahu salah Qis.”  Dato’ Shahrul tidak tahu untuk berkata apa.  Perkara sudah lepas.  Nasib baik ada Putra yang telah menyelamatkan maruah anak gadisnya.  Dia sendiri tidak tahu bagaimana cara untuk dia membalas budi jejaka itu.
                “Terima kasih, nak.  Papa tak tahu macam mana nak balas budi kau.” Ucap Dato’ Shahrul sambil memegang lembut bahu Putra.
                “Tak ada apa-apa pa. Memang sudah menjadi tanggung jawab saya.  Lagi pun papa banyak dah membantu saya dua beradik.” 
                “Tidak dengan apa yang telah kau lakukan.  Dulu kau selamatkan nyawa papa.  Kini kau selamatkan maruah Balqis.  Papa….”
                “Papa…. Putra rasa senang dengan kasih sayang yang papa dengan mama berikan.  Kalau tidak dengan apa yang papa dengan mama berikan selama ini sudah tentu Putra dengan Putri tidak berjaya.” Dato’ Shahrul dan Datin Salina cuba untuk tidak untuk menitiskan air mata tetapi Datin Salina lebih dulu menangis.  Sayu dengan kata-kata yang diucapkan oleh Putra itu.
                “Putra balik dulu… pa, ma.” 
                “Eh, nanti dulu.  Tuam dulu bengkak tu.  Dah macam apa dah mama tengok.”  Datin Salina berlalu ke dapur untuk mencari ais.
                “Papa risau juga kalau-kalau si Aris tu buat aduan.”
                “Papa jangan risau.  Dia tak akan punya.  Kalau dia buat report juga, dia sendiri yang akan masuk perangkap.  Putra dah rekod dengan apa yang dia dah buat pada Balqis.” 
                “Pandai anak papa ni.  Terima kasih sekali lagi.”
                “Mari mama tuamkan.”  Ujar Datin Salina seraya muncul dari dapur.
                “Tak apalah mama.  Putra boleh buat sendiri.” Tolak Putra.
                “Qis buat mama.”  Kali ini Balqis pula yang menyampuk setelah sekian lama dia mendiamkan diri.  Dia sedar dia masih belum mengucapkan terima kasih kepada itu.
                “Tak payah.  Balqis pergilah masuk tidur.  Tak perlu susah pasal saya.  Saya boleh buat sendiri.” Putra menolak lagi.
                “Dah, jangan nak mengada-ngada.  Awak tu anak dara.”  Seloroh Datin Salina.
                “Ma,  kalau kita ajak Putri dengan er… abang Putra tinggal sama-sama boleh?”  Terbuntang mata Dato’ Sharul mendengarnya. 
                “Boleh tapi dengan satu syarat.”
                Paluan kompang yang memeriahkan majlis walimatulurus di Dato’ Shahrul membuatkan Dato’ Shahrul dan Datin Salina tidak lekang dengan seyuman di bibirnya.  Mereka memanjat kesyukuran yang tidak terhingga dengan jodoh yang terukir di antara Putra dan Balqis.  Memang itu niat mereka dari sejak dulu lagi. 
                Putra yang kacak berbaju melayu cekak musang berona peach lembut benar-benar memberikan debaran kencang di hati Balqis.  Pertama kali hatinya berkocak saat dia bertentang mata dengan Putra. Ketenangan yang dipamerkan oleh Putra membuatkan Balqis tidak tenang untuk bertentang mata.   Putra menyarungkan cincin dan Balqis mencium tangan Putra.  Di saat itu entah mengapa air matanya mengalir perlahan.  Hatinya sayu dengan tiba-tiba. 
                “Maafkan Qis abang, selama ini Qis banyak menyusahkan abang.”  Perlahan sahaja kata-kata yang dilontarkan oleh Balqis.

                “Hish…. Jangan macam ni sayang…” Putra menyeka lembut air mata Balqis. Balqis memandang sekilas kepada Putra.  Betapa dia bangga mempunyai seorang suami seperti Putra.  Dia memanjat rasa kesyukuran yang tidak terhingga dengan kehadiran kedua-dua beradik itu yang menyemai kasih sayang yang tidak pernah terfikir olehnya.  Putri yang setia berada di sebelahnya tersenyum riang.  Kini dia sudah ada seseorang yang akan dipanggil kakak.    
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
 

Sebarang Hasil Tulisan Di Dalam Blog Ini Adalah Hasil Nukilan Saya Sendiri. Istilah COPY PASTE/CIPLAK/TULIS SEMULA Adalah TIDAK DIBENARKAN SAMA SEKALI. Tindakan Tegas akan Diambil Sekiranya Saya Mendapat Tahu Ada Yang Berbuat Demikian.

Copyright © 2020 NJIAKREATIF. All rights reserved. | Sign in|Top of page